Integrasi dan Kolaborasi: Upaya Mencegah Kekerasan Berbasis Gender di Sekolah

Kekerasan berbasis gender di Indonesia mengalami peningkatan hingga tahun 2019. Sebagian besar menunjukkan kekerasan ini terjadi di lingkungan pendidikan, yaitu 174 kasus di kampus dan 123 kasus kekerasan seksual di sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar. Mengapa justru ini bisa terjadi? Pertanyaan ini diajukan kepada segenap insan pendidikan di sekolah. Saatnya kita merefleksi diri, sudahkah mengambil peran preventif?

Kekerasan berbasis gender ditandai dengan adanya paksaan. Artinya, ada yang memaksa dan ada yang dipaksa. Kekerasan berbasis gender ini dibedakan menjadi dua, yaitu secara fisik maupun psikis. Apapun alasannya, perilaku yang mengarah pada kekerasan tidak boleh terjadi. Perlu dilakukan pencegahan ditingkat satuan pendidikan terkecil, yaitu kelas.

Integrasi dan Kolaborasi

Sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah, guru memiliki peran penting. Sebagai guru di sekolah dasar, saya melakukan beberapa kegiatan berikut. Pertama,  guru dalam kemerdekaannya mengajar dapat melakukan integrasi ke dalam berbagai muatan pelajaran.  Pada muatan pelajaran PKn misalnya, edukasi kesamaan gender diwujudkan dalam praktik pemilihan ketua kelas. Siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan diri maupun mengajukan temannya untuk menjadi ketua kelas.

Partisipasi dari siswa laki-laki dan perempuan dibuat berimbang. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak untuk menjadi pemimpin kelas. Pemberian pemahaman ini secara tidak langsung meyakinkan anak bahwa mereka memiliki hak maupun kewajiban yang sama, sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati.

Pada muatan IPA, khususnya pada materi Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia, guru dapat menekankan pentingnya menjaga diri. Baik siswa laki maupun perempuan diberikan pemahaman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap lawan jenis.

Kedua, membuat kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud berkaitan dengan tata tertib berperilaku. Bentuk pelanggaran dan sanksi menjadi hal penting untuk disepakati bersama. Kesepakatan ini harus muncul dari siswa dan guru. Meskipun berbasis pada kelas masing-masing, diharapkan kesepakatan ini dapat menjadi upaya preventif terjadinya pelanggaran.

Di sekolah, guru tidak sepenuhnya bisa mengontrol setiap tindakan siswa. Tak jarang misalnya, siswa laki-laki meminta makanan ke pada siswa perempuan. Biasanya ini terjadi ketika jam istirahat. Jika terjadi dalam kondisi paksaan, maka pemberlakuan sanksi harus diterapkan. Memang tidak serta merta dalam bentuk hukuman fisik, sanksi dapat diberikan sesuai tingkatan pelanggaran. Mulai dari teguran, pemberian tugas tambahan, maupun temu dengan orang tua.

Ketiga, pelibatan orang tua. Orang tua adalah guru pertama dan utama anak. Apa yang mereka alami di rumah bisa saja terbawa hingga sekolah. Menghormati individu tanpa melihat gender bisa dibangun sejak dini. Misalnya, orang tua tidak membedakan tugas antara anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan wajib mencuci, sementara anak laki-laki tidak boleh memasak.

Dalam keluarga, orang tua adalah role model bagi anak. Orangtua pun demikian, hendaknya dapat berbagi tanggungjawab antara ayah maupun ibu.  Interaksi positif di keluarga dapat membangun rasa simpati maupun empati. Orang tua berperan dalam memberikan pendidikan pekerti kepada anak

Guru tidak bisa berjalan sendiri dalam mengedukasi, perlu dibangun kolaborasi dengan orangtua. Integrasi dan kolaborasi ini diharapkan menjadi efektif sebagai upaya preventif terjadinya kekerasan gender. Ayo, bersama kita bisa!

#CerdasBerkarakter, #BlogBerkarakter, #AksiNyataKita, #LawanKekerasanBerbasisGender, #BantuKorbanKekerasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *