Menyusun SKP (Sasaran Kerja Pegawai) menjadi sebuah keharusan bagi pegawai (PNS) untuk mengetahui sasaran kinerja yang dicapai. Khususnya guru, kegiatan menyusun SKP ini tak jarang merupakan hal yang sulit. Bagaimana tidak? Belakangan ini, banyak ditemui, guru harus bolak-balik hanya untuk memperbaiki SKP.
Entah siapa yang benar atau siapa yang salah, namun kejadian ini cukup menyita waktu. Baik yang memeriksa, maupun yang membuat SKP. Topik yang menjadi permasalahan seperti kenapa harus 12 bulan, lalu unsur kepemimpinan apakah perlu dinilai, dan lain sebagainya.
Banyaknya pengulangan karena revisi (coretan) mengisyaratkan bahwa SKP ini merupakan “sesuatu” yang susah dibuat. Sudah saatnya, baik pihak guru maupun pihak terkait per-SKP-an memahami secara tepat bagaimana membuat dan melakukan penilaian prestasi kerja bagi guru.
Apa itu penilaian prestasi kerja?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil, penilaian prestasi kerja didefinisikan sebagai suatu proses penilaian secara sistematis yang dilakukan oleh pejabat penilai terhadap sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. Proses penilaian ini dilakukan dengan tolok ukur yang obyektif terhadap tingkat capaian sasaran kerja dan perilaku kerja pegawai oleh atasannya (pejabat penilai).
Penekanan Penilaian Prestasi Kerja adalah penilaian capaian sasaran kerja pegawai (SKP) yang pada dasarnya telah disusun dan disepakati bersama antara guru, kepala sekolah, dan guru diberi tugas tambahan dengan atasan langsungnya (pejabat penilai) serta penilaian perilaku keseharian dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya.
Dengan demikian, penilaian prestasi kerja meliputi penilaian terhadap dua aspek yaitu SKP dan perilaku kerja. Oleh karena itu, ketercapaian SKP dan perilaku kerja mempengaruhi prestasi kerja guru, kepala sekolah, dan guru diberi tugas tambahan.
Sebagai proses evaluasi terhadap kinerja dan perilaku kerja, penilaian prestasi kerja dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk menjamin obyektivitas pembinaan profesi yang dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan karier. Secara administratif, sekolah dapat menjadikan penilaian prestasi kerja sebagai acuan atau standar dalam membuat keputusan pemberian tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah kepada guru.
Hasil penilaian prestasi kerja juga dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat perencanaan kegiatan yang bermanfaat untuk pengembangan karier, penetapan indeks pemberian tunjangan selain gaji, promosi jabatan dan lain lain terkait dengan pembinaan profesinya.
Bagi sekolah, hasil penilaian prestasi kerja sangat penting dalam rangka pembinaan dan pengembangan karier, antara lain untuk mengidentifikasi kebutuhan program pengembangan keprofesian berkelanjutan, promosi, dan berbagai aspek lain dari keseluruhan proses manajemen sumber daya manusia secara efektif dan efisien.
Oleh karena itu, hasil penilaian prestasi kerja dapat menunjukkan apakah guru, kepala sekolah, dan guru diberi tugas tambahan sudah memenuhi target atau sasaran yang telah direncanakan baik secara kualitas, kuantitas, waktu, dan/atau biaya serta menunjukkan perilaku kerja dalam pelaksanaan tugasnya.
Unsur Penilaian Kerja Pegawai
Lingkup penilaian prestasi kerja mencakup dua unsur, yaitu: Sasaran Kerja Pegawai dan Perilaku Kerja. a. Sasaran Kerja Pegawai (SKP) dengan bobot nilai 60% (enam puluh persen). Penilaian terhadap SKP yaitu penilaian yang dilaksanakan terhadap seluruh tugas jabatan dan target yang harus dicapai selama kurun waktu pelaksanaan pekerjaan dalam tahun yang berjalan. Penilaian tersebut didasarkan kepada ukuran tingkat capaian SKP yang dinilai dari aspek: kuantitas, kualitas, waktu dan/atau biaya.
Target SKP guru, kepala sekolah, dan guru yang diberi tugas tambahan sebagai pejabat fungsional tertentu, adalah angka kredit yang harus dicapai untuk tahun yang berjalan yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, dan guru yang diberi tugas tambahan.
Mengingat kenaikan jabatan/pangkat didasarkan pada perolehan angka kredit, maka harus ditetapkan target angka kredit yang akan dicapai dalam 1 (satu) tahun di dalam SKP-nya. Penentuan angka kredit tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
b. Perilaku Kerja dengan bobot nilai 40% (empat puluh persen). Penilaian perilaku kerja yaitu penilaian terhadap perilaku kerja guru, kepala sekolah, dan guru yang diberi tugas tambahan dalam melaksanakan tugasnya di sekolah/madrasah. Penilaian perilaku kerja meliputi aspek: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin dan kerjasama. Unsur perilaku kerja yang dinilai harus relevan dan berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya. Sehingga nilai prestasi kerja mencakup dua unsur yaitu Sasaran Kerja Pegawai dengan bobot nilai 60% (enam puluh persen) dan Perilaku Kerja dengan bobot nilai 40% (empat puluh persen)
Contoh Penyusunan SKP
“Sajian contoh ini termuat pada PEDOMAN PENILAIAN PRESTASI KERJA GURU, KEPALA SEKOLAH, DAN GURU YANG DIBERI TUGAS TAMBAHAN yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2014″
Achmad Peristiwa S.Pd. dengan NIP.198012252007011019, guru Matematika pada SMAN 1 di Kota Bunga. Yang bersangkutan mengajar sejak tahun 2007 dan saat ini pangkat yang bersangkutan adalah Penata Muda Tk.I, golongan ruang III/b dengan jabatan Guru Pertama.
Untuk kenaikan pangkatnya ke golongan ruang III/c, Achmad Peristiwa, S.Pd harus mengumpulkan 50 angka kredit selama selama 4 tahun atau 12,5 angka kredit dalam satu tahun yang terdiri dari minimum 11,25 AK untuk unsur utama dan maksimum 1,25 AK untuk unsur penunjang.
AK PKB wajib yang harus dipenuhi adalah sekurang-kurangnya 3 pada kegiatan pengembangan diri dan sekurang-kurangnya 4 untuk kegiatan Publikasi Ilmiah dan/atau Karya Inovatif yang dikumpulkan dalam 4 tahun. Pengembangan diri tahunannya adalah sekurang-kurangnya 0,75 AK dan Publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif tahunannya adalah sekurang-kurangnya 1 (satu) AK.
Pada Januari 2014, target AK yang dituangkan dalam SKP untuk pelaksanaan pembelajaran diasumsikan nilai PK Guru mendapat sebutan “BAIK”. Dalam penyusunan SKP yang bersangkutan pada Januari 2014 kegiatan tugas jabatan yang dilaksanakan dan angka kreditnya adalah sebagai berikut.
Kegiatan Tugas Jabatan: a. Unsur Utama (minimum angka kredit untuk 1 tahun = 11,25) Minimum AK unsur utama = AK Kumulatif – AK Penunjang = 12,5 AK – 1,25 = 11,25 AK 1) Merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi dan menilai hasil pembelajaran, melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian sebagai guru kelas; AK pembelajaran = AK Kumulatif – AK Pengembangan Diri – AK Publikasi Ilmiah dan/atau Karya Inovatif = 11,25 – 0,75 – 1 = 9,5 AK 2) Menjadi wali kelas: AK = 5% x 9,5 = 0,48 AK 3) Melaksanakan kegiatan PKB guru yang meliputi: a) mengikuti diklat kurikulum selama 60 jam = 1 AK; b) mengikuti kegiatan kolektif guru dengan 4 paket kegiatan terkait dengan peningkatan kemampuan dalam penyusunan perangkat pembelajaran: AK = 4 paket x 0,15 = 0,6; c) membuat 1 karya tulis berupa laporan hasil penelitian pada bidang pendidikan di sekolahnya, diterbitkan/dipublikasikan dalam majalah ilmiah tingkat kabupaten/kota dengan tema “penerapan project based learning dalam memahami konsep menentukan peluang di kelas XI” = 1 AK; d) menciptakan 1 alat peraga dengan kategori kompleks untuk materi pembelajaran matematika dengan tema “fungsi trigonometri” = 2 AK.
b. Unsur Penunjang (maksimum 1,25 AK) Maksimum angka kredit = 10% x AK unsur utama = 1,25 AK 1) menjadi tutor/pelatih/instruktur dalam Kurikulum 2013 selama 10 JP (2 JP = 0,04 AK) Angka Kredit = (10 JP/2) x 0,04 AK = 0,2 AK; 2) menjadi pengawas ujian sekolah = 0,08 AK.
Penilaian Perilaku Kerja Guru
Penilaian perilaku kerja dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap guru, kepala sekolah, dan guru yang diberi tugas tambahan yang dinilai. Penilaian perilaku kerja dapat mempertimbangkan masukan dari Pejabat Penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing.
Penilaian perilaku kerja meliputi aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, dan kerja sama. Penilaian aspek kepemimpinan hanya diperuntukkan bagi kepala sekolah, akan tetapi mengingat kepala sekolah sudah dinilai unsur kepemimpinannya dalam penilaian kinerja kepala sekolah, maka dalam penilaian perilaku kerja kepala sekolah, unsur kepemimpinan tidak perlu dinilai. Nilai perilaku kerja PNS dinyatakan dengan angka dan sebutannya, yaitu: (1) 91 – 100 = Sangat Baik (2) 76 – 90 = Baik (3) 6I – 75 = Cukup (4) 51 – 60 = Kurang; dan (5) 50 ke bawah = Buruk. Di dalam penilaian perilaku kerja, menggunakan kriteria-kriteria penilaian unsur perilaku kerja sebagaimana dituangkan dalam PerKa BKN Nomor 1 tahun 2013.
Sumber: PEDOMAN PENILAIAN PRESTASI KERJA GURU, KEPALA SEKOLAH, DAN GURU YANG DIBERI TUGAS TAMBAHAN yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2014
Sekolah ibarat sebuah taman tempat bermainnya anak-anak. Di tempat inilah benih keceriaan, kebaikan, dan keberagaman bersemai dengan indah dan semarak. Tempat setiap anak menggali nilai-nilai kebaikan untuk menajamkan cipta, rasa, dan karsanya hingga terbentuk kehalusan budi dan kedamaian.
Menciptakan sebuah sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi anak adalah impian setiap guru dan seluruh ekosistem sekolah. Untuk mewujudkan impian tersebut, seluruh pemangku kepentingan harus bergandengan tangan bersinergi dan berkolaborasi menemukan inovasi yang memang betul-betul berorientasi kepada siswa.
Salah satu aksi yang penulis lakukan untuk mewujudkan rasa nyaman, rasa rindu, dan perasaan saling memiliki di sekolah adalah menggandeng seluruh ekosistem sekolah untuk terlibat dalam kegiatan napak tilas “Sekolah yang Kurindukan”. Dalam kegiatan napak tilas, siswa diajak membuka pintu sekolahnya, melihat apa yang ada di dalam sekolah, mengenang kembali cerita indah mereka di sekolah bersama orang-orang terkasih.
Kolaborasi napak tilas ini bertujuan agar siswa merefleksikan kembali kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui di sekolah. Selain itu, napak tilas akan mengantarkan siswa untuk berpikir kritis tentang hal yang harus dibenahi dari sekolahnya, serta menjelaskan harapan sekolah impian mereka.
Perjalanan napak tilas yang melibatkan guru dan seluruh pemangku kepentingan di sekolah juga bertujuan untuk menggabungkan seluruh kekuatan-kekuatan positif yang ada di lingkungan sekolah, sehingga mampu memacu motivasi intrinsik atau kekuatan dalam diri anak untuk terus berjuang dan belajar di tengah pandemi. Kegiatan aksi nyata ini berfokus pada paradigma Inkuiri Apresiatif dan dirancang dengan menggunakan tahapan BAGJA.
Napak Tilas
Perencanaan napak tilas dengan tahap BAGJA melibatkan kekuatan-kekuatan positif yang ada dalam ekosistem sekolah. Perencanaan tersebut kemudian diwujudkan dalam video pembelajaran napak tilas. Video ini yang mengantarkan siswa untuk mengunjungi sekolahnya secara virtual.
Durasi video selama 9 menit menggambarkan keadaan SD Saraswati 3 Denpasar di masa pandemi. Mereka diajak menyaksikan rindangnya kebun sekolah, melihat betapa sunyinya lapangan tanpa kehadiran mereka, kondisi ruang kelas dan beberapa ruangan lainnya. Kepala sekolah, para guru, satpam, tukang kebun juga hadir memberikan kesan dan pesan untuk anak-anak yang sedang berjuang belajar di rumah.
Video napak tilas kemudian diunggah ke akun Instagram kelas ruang merdeka belajar. Seluruh siswa kelas VIC yang berjumlah 47 anak diberikan kesempatan menyaksikan tayangan tersebut. Mereka kemudian diminta untuk menceritakan kenangan indah yang pernah dilalui bersama di tempat itu. Siswa juga bisa mengungkapkan sosok yang dirindukan di sekolah, menemukan perbedaan sekolah mereka di masa sebelum dan sesudah pandemi, serta impian dan harapan yang ingin mereka wujudkan untuk sekolahnya.
Ungkapan siswa
Pada kegiatan ini, siswa diberikan kebebasan menuangkan isi hatinya melalui kolom komentar yang ada pada akun Instagram. Siswa juga diberikan kebebasan untuk menanggapi komentar teman-teman mereka dengan bahasa yang santun. Hal ini membawa dampak baik terhadap karakter siswa agar lebih arif dan bijak menggunakan social media.
Di samping itu, siswa juga diharapkan memiliki kebiasaan baik dalam bermedia social, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh berita hoax dan menjadi teladan teman-temannya dalam mengampanyekan pesan kebaikan di media social.
Kegiatan napak tilas melalui Instagram ternyata mendapat respon positif dari seluruh siswa. Mereka berlomba-lomba meninggalkan komentar positif, membagikan cerita penuh kenangan indah, dan menuliskan harapan kepada sekolahnya. Kegiatan ini seakan mengantarkan mereka berkeliling sekolah setelah hampir setahun tempat ini tidak mereka kunjungi.
Sekolah impian
Menariknya, di akhir kegiatan pembelajaran ini, siswa diminta secara merdeka mengungkapkan sekolah impian mereka. Sekolah impian bisa dibuat dalam bentuk gambar yang mendeskripsikan harapan anak kepada sekolahnya. Kemudian, setiap anak diminta untuk mempresentasikan gambaran sekolah impiannya.
Karya imajinatif mengenai sekolah impian anak-anak sungguh beragam. Ada yang ingin sekolahnya lebih rindang, ada yang punya impian agar toilet sekolahnya bersih. Adapula yang punya impian agar sekolahnya seperti Universitas Waseda Jepang, tempat belajarnya Jerome Polin seorang youtuber terkenal, dan masih banyak impian anak-anak lainnya.
Segala sesuatu yang telah direncanakan tentu dalam pengimplementasiannya tidak selalu berjalan dengan lancar. Ada keberhasilan, ada hambatan, bahkan kegagalan. Ketiga hal tersebut merupakan pengalaman yang dapat menyempurnakan pembelajaran agar lebih bermakna.
Berkolaborasi dengan seluruh komponen kepentingan di sekolah bukan hal yang mudah untuk penulis realisasikan. Perlu waktu dan kesempatan yang tepat untuk mendapatkan moment ini karena kami tidak selalu berada pada jadwal piket yang sama. Adapun rencana perbaikan ke depan adalah mengajak siswa secara berkelompok melakukan napak tilas di sekitaran sekolah, sehingga mereka dapat merasakan perasaan saling memiliki, saling menjaga, dan mampu berinteraksi dengan lingkungan sekolah secara langsung.
Artikel ini merupakan aksi nyata calon guru penggerak untuk meningkatkan kedisiplinan siswa. Upaya yang dilakukan adalah dengan menumbuhkan budaya postif. Seperti apa upaya yang sudah dilakukan, berikut sajian lengkap artikel dengan judul “Penerapan Budaya Positif Untuk Meningkatkan Kedisiplinan Kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar Tahun Pelajaran 2020/2021“
Mengapa budaya positif?
Setiap sekolah yang ingin memperbaiki kinerjanya, juga harus memperhitungkan dan mengidentifikasi aneka budaya yang ada, disamping posisi sekolah dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan pemahaman budaya sekolah yang ada, baik budaya positif yang mendukung, maupun budaya negatif yang menghambat.
Ini akan dijadikan tolak ukur dalam upaya mengembangkan budaya sekolah yang mendukung kegiatan belajar mengajar tersebut. Oleh karena itu kualitas pendidikan bersifat dinamik yaitu berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuanan dan teknologi, jadi segala wujud dari perkembangan tersebut, sekolah dituntut selalu melakukan perubahan-perubahan dalam aksi nyata.
Sekolah memiliki sejumlah budaya, keyakinan dan nilai-nilai yang disepakati secara luas, ada satu budaya dominan dengan budaya lainnya, ada sejumlah kelompok memiliki kesepakatan terbatas tentang keyakinan dan nilai-nilai tertentu.
Kenyataannya, ada yang telah membuat kesepakatan namun dalam aplikasinya belum terlaksana dengan baik, sehingga keadaan ini tidak menguntungkan. Jika nilai-nilai yang telah disepakati tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan upaya sekolah untuk membangun sekolah yang bermutu.
Budaya sekolah juga dipengaruhi oleh budaya daerah dimana murid tersebut dilahirkan, tinggal menetap dan berkembang yang pada akhirnya budaya-budaya yang sudah menjadi kebiasaan akan dibawa oleh anak-anak ke bangku sekolah.
Dalam kegiatan persekolahan sehari-hari, murid di kelas VI D SD 3 Saraswati Denpasar misalnya, tentu dipengaruhi oleh budaya daerah Bali yang mungkin saja ada yang kontra dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan, karena itu kesepakatan yang telah dibuat harus mewakili berbagai macam variasi budaya yang sesuai dengan keanekaragamana budaya.
Pengembangan budaya positif menentukan keberhasilan usaha peningkatan pendidikan yang bermutu/berkualitas, karena itu berbagai upaya peningkatan mutu/kualitas pendidikan di semua jenjang, telah diupayakan oleh pemerintah pusat/daerah, satuan pendidikan dan masyarakat, yang dilakukan secara berkelanjutan.
Budaya positif sekolah tersebut merupakan kebiasaan-kebiasaan yang disepakati bersama untuk dijalankan dalam waktu yang lama, jika budaya positif tersebut sudah membudaya, maka nilai-nilai dari karakter yang diharapkan terbentuk pada diri anak (murid).
Sedangkan disiplin positif adalah pendekatan yang dirancang untuk mengembangkan murid menjadi pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab, hormat serta kritis, yang menggerakkan perubahan baru (positif) bagi seluruh komponen sekolah ke arah masa depan.
Usaha peningkatan kualitas pendidikan tersebut, selalu menuntut semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, siswa, staf administrasi, orang tua siswa, pengawas sekolah, dan masyarakat) agar memiliki kesadaran serta berkeinginan untuk selalu berubah ke arah perbaikan.
Pemikiran-pemikiran positif tentang konsep Ki Hadjar Dewantara yaitu murid yang memiliki kodrat alam dan kodrat zaman, guru menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan atau potensi yang dimiliki murid agar lakunya diperbaiki (bukan dasarnya).
Agar kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya sebagai manusia individu dan masyarakat teercapai dengan baik, harus dipahami betul oleh seorang guru. Berkolaborasi dengan pendekatan inkuiri apresiatif, tumbuh menjadi kekuatan baru sebagai aset yang berharga, untuk mewujudkan visi dan misi sekolah.
Vii yang dimaksud yakni, membangun pendidikan bagi murid yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkarakter, bertanggung jawab, kreatif dan inovatif, mampu mengembangkan sikap spititual dan sikap sosial yang tinggi, berkebhinekaan global, dalam menciptakan murid merdeka, untuk mewujudkan “Profil Pelajar Pancasila”. Hal-hal tersebut terwujud jika kerjasama antara guru dengan kepala sekolah, pegawai, murid, orang tua serta pemangku kepentingan lainnya terjalin dalam budaya yang positif.
Ada sembilan aspek budaya positif yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam rangka membentuk karakter murid positif, yaitu: (1) budaya membaca, (2) budaya jujur, (3) budaya bersih, (4) budaya disiplin, (5) budaya kerjasama, (6) budaya saling percaya, (7) budaya berprestasi, (8) budaya penghargaan, dan (9) budaya efisien/hemat.
Dari uraian tersebut di atas, secara intrinsik budaya-budaya tersebut dapat dimunculkan secara natural oleh murid yang memiliki dasar-dasar budaya tersebut, dan secara ekstrinsik budaya-budaya tersebut diharapkan dapat memberikan stimulus yang baik bagi murid yang tidak memiliki dasar-dasar budaya tersebut.
Selanjutnya, murid berlatih untuk menerapkannya baik di sekolah maupun di masyarakat, sehingga budaya-budaya tersebut menjadi kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang dalam pelaksanaannya akan mengalir tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Melalui penerapan budaya positif, peningkatan pengembangan mutu pendidikan, khususnya jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), tampaknya lebih menjanjikan dibandingkan perbaikan struktural, yaitu penerbitan berbagai peraturan, reorientasi kurikulum, rekayasa sistem pembelajaran.
Oleh karena itu perlu dilakukan inovasi-inovasi melalui pengembangan budaya (culture) sekolah yang baik, yang menjadi pengikat kuat kebersamaan seluruh warga sekolah. Budaya positif harus dikembangkan di SD 3 Saraswati Denpasar, agar lulusannya siap melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan menjadi warga masyarakat yang berbudaya.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, rumusan masalah penulisan ini yaitu, Bagaimanakah penerapan budaya positif untuk meningkatkan kedisiplinan kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021?
Tujuan Penulisan
Laporan aksi nyata tentang “Penerapan Budaya Positif Untuk Meningkatkan Kedisiplinan Kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar Tahun Pelajaran 2020/2021” ini memiliki dua tujuan yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
1) Secara umum laporan ini bertujuan untuk meningkatkan tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan manusia seutuhnya, yang terampil dan cerdas berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2) Secara umum laporan ini bertujuan untuk mendukung tercapainya Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) dari rangkaian kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan dijalankan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Secara khusus laporan ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan budaya positif untuk meningkatkan kedisiplinan kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021.
2) Secara khusus laporan ini bertujuan untuk membuat rencana perubahan diri guna mendukung penguatan lingkungan yang positif dengan penerapan budaya positif yang dimulai dari kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar.
Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan memberikan kontribusi berarti, sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Secara Teoritis
Penerapan budaya positif yaitu: budaya membaca, budaya jujur, budaya bersih, budaya disiplin, budaya kerjasama, budaya saling percaya, budaya berprestasi, budaya penghargaan, dan budaya efisien/hemat, sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang dalam pelaksanaannya akan mengalir tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
1.4.2 Manfaat Secara Praktis
1) Bagi murid, penerapan budaya positif diharapkan bermanfaat sebagai stimulus yang baik bagi murid untuk meningkatkatkan kedisiplinan diri dalam pembentukan karakter, menjadi kebiasaan-kebiasaan yang positif yang secara natural akan diterapkan kapanpun, dimanapun dalam kehidupan nyata (masyarakat).
2) Bagi guru, penerapan budaya positif diharapkan bermanfaat sebagai perilaku yang memiliki konstribusi dalam peningkatan kualitas pembelajaran di kelas-kelas, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan positif di sekolah.
3) Bagi sekolah, penerapan budaya positif diharapkan dapat memberikan konstribusi pada keberhasilan sebuah organisasi dalam melakukan perubahan di lingkungan sekolah secara bertahap.
****
Pengertian Budaya Positif
Budaya positif adalah budaya yang membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya, mutu kehidupan warga yang diharapkan adalah warga yang sehat, dinamis, aktif, dan professional, budaya positif memberi peluang sekolah beserta warganya berfungsi secara optimal, bekerja secara efisien, energik, penuh vitalitas, memiliki semangat tinggi, dan mampu terus berkembang, budaya positif ini harus terus menerus dikembangkan dari kohor siswa ke kohor siswa berikutnya, dan dari kelompok satu ke kelompok lainnya, budaya positif dan kuat memiliki kekuatan dan menjadi modal dalam melakukan perubahan dan perbaikan.
Tujuan utama pengembangan budaya positif di sekolah adalah terciptanya masyarakat belajar, kemampuan murid meningkat karena dilakukan dengan penuh kesadaran, yang kemudian berefek pada peningkatan mutu pendidikan dan pembentukan karakter murid yang unggul, setiap individu yang menjadi bagian dari warga sekolah harus memiliki pola pikir di mana setiap individu merupakan bagian dari keseluruhan sistem persekolahan, karena kegiatan setiap unit mempengaruhi unit lainnya.
Pengertian Disiplin
Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban dengan penuh kesadaran tinggi. Ciri-ciri orang disiplin, selalu mentaati peraturan, selalu tepat waktu, disiplin positif itu membangun kekuatan murid (peserta didik).
Penguatan positif tersebut, difungsikan untuk mempromosikan perilaku yang baik dalam mewujudkan budaya positif di sekolah, daripada mengkritik kelemahan-kelemahan murid, berbagai perencanaan, pengalaman, penelitian pada dunia pendidikan, memberikan hasil bahwa penerapan budaya positif disetiap kelas menjadi hal yang baik terhadap keberhasilan dalam inovasi pendidikan.
Aksi Nyata
Budaya sekolah merupakan aset yang bersifat abstrak, unik dan senantiasa berproses dengan dinamika kebutuhan pengembangan budaya sekolah, yang perlu dipahami adalah budaya sekolah hanya dapat dikenali dari pencerminannya dalam berbagai hal yang dapat diamati, seperti perilaku verbal, nonverbal, dan benda hasil budaya.
(a) Perilaku verbal, adalah ungkapan-ungkapan lisan dan tertulis baik dalam bentuk kata-kata atau kalimat, baik yang dikatakan oleh kepala sekolah, guru dan tenaga pendidikan maupun oleh murid di setiap kesempatan, maupun dalam bentuk-bentuk slogan yang ditulis. Dalam kaitannya dengan perilaku verbal di SD Saraswati 3 Denpasar telah menerapkan slogan-slogan yang ditulis dan dipampang di berbagai sudut sekolah yang strategis dan mudah dibaca, antara lain: “Sekolahku Hijau Sekolahku Sehat, Jagalah Kebersihan, Kebersihan Pangkal Kesehatan, Jangan Lupa Buang Sampah Pada Tempatnya, Kebersihan Bagian Dari Iman”.
(b) Perilaku nonverbal adalah ungkapan dalam bentuk perbuatan yang baik seperti sopan santun, jujur, kerjasama yang harmonis, saling menghargai, semangat untuk berprestasi, peduli terhadap lingkungan, berlaku hemat tidak boros, menjunjung tinggi gotong royong, taat pada aturan, disiplin waktu, rajin belajar, cinta tanah air, serta membela kesatuan dan persatuan bangsa, dalam kaitannya dengan perilaku nonverbal di SD Saraswati 3 Denpasar, khusunya di kelas 6 D antara guru dan murid telah membuat kesepakatan bersama yang isinya telah mencerminkan budaya positif yang diterapkan dalam kegiatan persekolahan sehari hari.
Aspek-aspek budaya positif yang dikembangkan di kelas 6 D yaitu: (1) Kami guru dan murid menginginkan kedamaian, (2) kami murid yang saling peduli, menyayangi dan mencintai, (3) kami murid yang peduli dengan tugas piket, (4) kami murid ingin kelas kompak, (5) kami murid ingin ruang kelas yang kreatif dan estetis, (6) kami murid yang semangat belajar dan guru yang humoris, (7) kami murid menyelesaikan tugas dengan baik, (8) kami murid yang menghargai waktu.
(c) Benda hasil budaya yaitu tata ruang baik berupa eksterior maupun interior kelas (sekolah), maupun sarana prasarana yang dimiliki sekolah, dalam kaitannya dengan benda hasil budaya, kesepakatan nomor 5 yaitu “kami murid ingin ruang kelas yang kreatif dan estetis” telah mencerminkan aspek benda hasil budaya, namun dalam praktek aksi nyata perlu dimonitoring apakah aspek kesepakatan kelas nomor 5 tersebut dapat diterapkan secara maksimal.
Murid sebagai bagian dari warga sekolah perlu memahami dan dapat membedakan yang mana budaya positif, negatif maupun netral, dalam kaitannya dengan visi, misi dan tujuan sekolah, aspek budaya positif contohnya: ada ambisi untuk meraih prestasi dan memperoleh penghargaan, ada semangat menegakkan sportivitas, kejujuran dan mengakui keunggulan pihak lain, ada perilaku saling menghargai perbedaan, ada rasa saling percaya dan lain sebagainya.
Aspek budaya negatif contohnya: banyak jam belajar yang kosong, banyak absen tugas, membolehkan atau mengizinkan terhadap pelanggaran nilai moral/akhlak/etika, adanya pergeseran yang menimbulkan perbedaan pendapat yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya kelompok yang saling menjatuhkan, penekanan pada nilai pelajaran dan bukan kompetensi. Aspek budaya netral contohnya: jenis kelamin kepala sekolah, proporsi guru laki-laki dan perempuan, jumlah siswa wanita yang dominan.
Aspek budaya positif yang seharusnya dilakukan sekolah adalah budaya utama yang meliputi: (1) budaya jujur, (2) saling percaya, (3) kerjasama, (4) kegemaran membaca, (5) disiplin, (6) bersih, (7) berprestasi, dan (8) penghargaan, dan (9) budaya efisien. Berdasarkan kesembilan indikator tersebut, peningkatan budaya disiplin yang paling ditekankan di kelas 6D SD Saraswati 3 Denpasar, sedangkan budaya bersih dan penghargaan adalah budaya yang tidak optimal.
Hasil Aksi Nyata
Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat antara guru dan murid, penerapan budaya positif yang berkembang di kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar, menunjukkan bahwa pengembangannya dapat berjalan dengan baik, hal ini dapat diamati dari nilai-nilai dan kenyakinan dalam bentuk fisik dan perilaku murid kelas VI D.
Indikator pencapaian budaya positif tersebut, yaitu: semangat berprestasi, minat belajar murid yang relatif tinggi, interaksi antar murid dengan guru dan murid dengan murid yang harmonis, sopan santun dan ketertiban, jalinan kerjasama, pengambilan keputusan secara demokratis, suasana kelas yang nyaman dan penuh kekeluargaan, dan disiplin yang terpelihara dengan baik, diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk pengembangan perubahan lingkungan positif pada sikap/perilaku warga Sekolah Dasar Saraswati 3 Denpasar.
Adapun sistem dari penerapan budaya positif untuk meningkatkan kedisiplinan kelas 6 D SD Saraswati 3 Denpasar, akan digambarkan sebagai berikut:
Sikap dan perilaku tersebut melalui proses yang didapatkan dengan melakukan proses interaksi pada pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan.
Keberhasilan dan Kegagalan Dalam Proses Pelaksanaan Pembelajaran
Budaya sekolah beroperasi secara tidak disadari oleh para pendukungnya dan telah lama diwariskan secara turun temurun, budaya mengatur perilaku dan hubungan internal serta eksternal.
Hal ini perlu dipahami dan digunakan dalam mengembangkan budaya sekolah, nilai-nilai baru yang diinginkan tidak akan segera dapat beroperasi bila berhadapan/berbenturan dengan nilai-nilai lama yang telah berakar akan dapat menghambat perilaku baru yang diinginkan Kultur sekolah selalu didasari oleh asumsi, nilai-nilai/keyakinan yang kemudian dimanivestasikan dalam artifak nyata yang mudah diamati dalam bentuk kondisi fisik sekolah dan perilaku warganya.
Budaya baru hanya dapat dihadirkan melalui refleksinya dalam sistem perilaku dan penataan kehidupan bersama di sekolah tersebut, penambahan budaya baru dapat dilakukan melalui pengembangan kepemimpinan yang tanggap dan positif terhadap perubahan, secara internal suatu organisasi harus solid dan stabil, tetapi secara eksternal organisasi perlu adaptif dan akomodatif pada perubahan.
Berdasarkan fenomena budaya yang berkembang di sekolah, menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat pengembangan budaya sekolah masih cukup besar, motivasi untuk maju menjadi yang terbaik, merupakan kelemahan utama yang terjadi di sekolah.
Hal ini dibuktikan oleh keberadaan strategis kepala sekolah yang memiliki motivasi berprestasi sangat tinggi akan sangat mempengaruhi budaya yang berkembang di sekolah. Selain itu kompetensi guru maupun karyawan juga mengakibatkan terhambatnya pengembangan budaya positif sekolah, namun rata rata di SD Saraswati 3 Denpasar memiliki budaya sopan santun, kebersamaan, kedamaian yang baik, hal ini dimungkinkan karena sekolah berada di Bali yang masih sangat kental dengan budayanya.
Rencana Perbaikan Di Masa Mendatang
Dengan memahami ciri-ciri budaya positif, maka fungsi sekolah dapat dipahami, berbagai permasalahan dapat dimengerti, dan pengalaman-pengalaman dapat direfleksikan, setiap sekolah memiliki keunikan berdasarkan pola interaksi komponen warga sekolah secara internal dan eksternal, sekolah dapat dilakukan rencana tindakan nyata dalam perbaikan mutu sekolah di masa mendatang.
Berdasarkan hasil aksi nyata, pengembangan budaya positif khususnya di kelas 6 D SD Saraswati 3 Denpasar, memang perlu adanya campur tangan yang lebih pada pembentukan budaya positif tersebut agar murid secara bertahap memiliki perilaku yang mendukung peningkatan mutu pembelajaran dan pembentukan pribadi yang unggul, cerdas dan bernurani.
Melalui kesepakatan tentang budaya positif, dilakukan oleh kepala sekolah secara terencana dan sistematis, merupakan tindakan yang tepat untuk membangun mutu budaya sekolah dalam jangka panjang, pengembangan yang menekankan pada model budaya positif, yang mampu menggerakkan perubahan secara mantap, memperbaiki pola pikir (mindset), motivasi dan perilaku budaya seluruh warga sekolah.
Kepala sekolah bekerjasama dengan seluruh warganya, memberikan penekanan pada pengembangan sembilan budaya positif inti yaitu: (1) budaya jujur, (2) saling percaya, (3) kerjasama, (4) kegemaran membaca, (5) disiplin, (6) bersih, (7) berprestasi, dan (8) penghargaan, dan (9) budaya efisien.
Dokumentasi Proses Aksi Nyata
****
Simpulan
Budaya positif yang berkembang di kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar, menunjukkan bahwa pengembangannya masih berjalan dengan baik, hal ini dapat diamati dari nilai-nilai dan kenyakinan dalam bentuk fisik dan perilaku murid kelas VI D.
Indikator pencapaian budaya positif tersebut, yaitu: semangat berprestasi, minat belajar murid yang relatif tinggi, interaksi antar murid dengan guru dan murid dengan murid yang harmonis, sopan santun dan ketertiban, jalinan kerjasama, pengambilan keputusan secara demokratis, suasana kelas yang nyaman dan penuh kekeluargaan, dan disiplin yang terpelihara dengan baik, diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk pengembangan perubahan lingkungan positf pada perilaku warga Sekolah Dasar Saraswati 3 Denpasar.
Saran
Pengembangan budaya sekolah sangat tergantung pada peran kepala sekolah dalam mengembangkan aspek budaya baik yang bersifat positif, negatif maupun netral, sehubungan dengan laporan yang telah diuraikan di atas, maka saran/masukan untuk penyempurnaan perbaikan kinerja lingkungan sekolah, khususnya di Saraswati 3 Denpasar adalah sebagai berikut:
Aspek budaya sosial meliputi: budaya memaafkan, menolong, memberi penghargaan, menegur, mengunjungi, memberi selamat, saling menghormati, dan mengucapkan salam dalam melakukan interaksi dengan orang lain di sekolah.
Aspek budaya akademik meliputi: monitoring kemajuan belajar, kerajinan membaca, bimbingan belajar, kebiasaan bertanya, keberanian mengemukakan pendapat, persaingan meraih prestasi, kepemilikan buku pelajaran, konsultasi dengan pembimbing, kelompok belajar, penugasan oleh guru, umpan balik dari guru, strategi belajar mengajar, penguasaan bahan dari guru, ketepatan media pembelajaran yang digunakan, maupun mutu budaya yang diharapkan, karena itu disarankan kepala sekolah wajib mengetahui budaya yang berkembang di sekolahnya, sebagai modal dasar untuk merekayasa budaya positif dalam rangka memperbaiki kinerja sekolahnya.
Daftar Pustaka
Aditya Dharma. 2020. Modul 1.4: Budaya Positif. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).
Ali, Mohammad Prof., Dr., dan Asrori, Mohammad Prof., Dr. 2006. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara
Dimyati, Dr. dan Mudjiono, Drs. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Hasibuan., Ibrahim dan Toenlioe, A.J.E. 1991. Proses Belajar Mengajar Keterampilan Dasar Mengajar Mikro. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jihad, Asep dan Haris, Abdul. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Multi Pressindo.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Muslich, Masnur. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Nasution, M.A., Prof., Dr. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rooijakkers, Ad. 1991. Mengajar dengan Sukses “Petunjuk untuk Merencanakandan Menyampaikan Pengajaran”. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana, Indonesia.
Sardiman A.M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. PT RajaGrafindo Persada.
Samho Bartolomeus., SS., M.Pd dan Yasunari Oscar., SS., MM. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Tantangan-Tantangan Implementasinya Di Indonesia Dewasa Ini. Bandung: Lembaga penelitian Dan Pengabdian Kepada masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Sanjaya, Wina.2010.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Suryosubroto, B., Drs. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta
Artikel ini merupakan gambaran aksi nyata calon guru penggerak (CGP) dalam menerapkan inkuiri apresiatif BAGJA di sekolah dasar dengan judul “Visi Inkuiri Apresiatif BAGJA Dalam Penumbuhan Merdeka Belajar Murid Kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar Tahun Pelajaran 2020/2021“
Mengapa Inkuiri Apresiatif Bagja?
Menurut Undang-undang RI nomor 2 tahun 1989 bab IV Pasal 9, tentang sistem pendidikan nasional menyatakan, sekolah adalah satuan pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, sekolah merupakan rumah kedua bagi anak-anak, tempat dimana anak-anak melakukan lebih banyak aktifitasnya, yaitu belajar dan bermain, karenanya sekolah harus mampu memberikan kenyamanan dan keamanan yang diinginkan oleh semua pihak, serta harus mempunyai tujuan yang jelas yang dijabarkan dalam visi dan misi sekolah.
Di Indonesia sudah cukup banyak orang yang “pintar”, tapi sulit menemukan orang yang “benar”, yang pertama menyangkut kualitas kognitif dan yang kedua menyangkut kualitas nilai (integrasi antara potensi-potensi kognitif, afektif, psikomotor, sosial dan spiritual). Pendidikan dewasa ini sangat disibukkan dengan kegiatan dominasi kognitif, dimana para pendidik di sekolah hanya berperan sebagai pengajar (transfer of knowledge), idealnya hubungan yang harusnya terjadi antara guru dengan murid adalah setara yakni, guru adalah sahabat dan sekaligus teman bagi siswa untuk saling berbagi dan memperkaya wawasan pengetahuan.
Dalam konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara, disebut metode among, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh, dengan mementingkan ketertiban, namun dalam pelaksanaannya mengupayakan kesadaran bukan paksaan yang bersifat hukuman. Hal tersebut sesuai dengan visi mendasar dari pendidikan nasional adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya, yang merdeka belajar dan berkualitas, sehingga guru dapat merumuskan visi yang jelas, dengan membuat ekosistem pembelajaran yang berpihak pada murid, serta diupayakan bentuk pelayanan di lingkungan sekolah sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.
Ditegaskan pula dalam konsep Ki Hajar Dewantara yaitu, pendidikan tidak mencabut akar budaya bangsa Indonesia yang membuat murid menjadi asing dengan realitasnya, pendidikan harus membuat eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan mengatur dirinya sendiri. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang sangat menggugah hati saya untuk melakukan aksi perubahan adalah “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”.
Menjalankan perubahan positif di sekolah tidaklah mudah, karena suatu perubahan perlu adanya kerjasama oleh semua pihak, dan upaya yang konsisten dari pihak sekolah dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah, untuk terus melakukan inovasi dan terbuka terhadap kenyataan yang sedang dihadapi pada masa kini dan datang.
Dengan adanya kenyakinan terhadap visi yang dirancang, guru terpacu melakukan usaha peningkatan kualitas diri serta menguatkan interaksi di lingkungan sekolah menjadi upaya perbaikan yang berkesinambungan guna memberikan pelayanan pembelajaran yang diperlukan murid, lingkungan belajar yang memungkinkan tumbuhnya murid merdeka, yang memiliki kemandirian dan motivasi instrinsik yang tinggi dengan proses pembelajaran yang efektif.
Mengelola perubahan positif di sekolah membutuhkan sebuah manajemen perubahan, pada modul kali ini, calon guru penggerak disodorkan dengan materi “paradigma inkuiri apresiatif BAGJA”, yaitu pendekatan kolaboratif dalam melakukan perubahan yang berbasis kekuatan, inkuiri apresiatif mengutamakan psikologi positif dan pendidikan positif, dimana setiap murid memiliki inti positif yang dapat memberikan konstribusi pada keberhasilan sebuah organisasi dalam melakukan perencanaan perubahan, dengan menerapkan tahapan inkuiri apresiatif (IA) yang disebut BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pembelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, Atur eksekusi).
Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang di dalamnya terdiri dari tujuan, isi dan evaluasi, kurikulum yang digunakan di SD Saraswati 3 Denpasar adalah kurikulum 2013 (K 13) yang menekankan peran aktif siswa secara mandiri atau kelompok, serta pembentukan karakter siswa melalui pengalaman langsung sehingga dapat menambah kekuatan untuk mengeksplor kemampuannya dalam berpikir kritis, namun jika pembelajaran kurang bervariasi cenderung murid jenuh, murid yang belajar diawali dengan kejenuhan sulit menggali potensi yang dimilikinya, terlebih lagi dalam hal berpikir kritis, karena itu penggunaan K.13 belum sepenuhnya diaplikasikan dengan maksimal.
Pada dasarnya murid memiliki perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda, ketika guru telah menyadarinya dan mengetahui karakteristik semua murid yang diampunya, guru dapat mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan murid dalam tiap proses pembelajaran (tematik). Ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas, berbagai stimulus diberikan agar perkembangan kognitif, afektif dan psikomotornya terkontrol.
Penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di kelas dapat direncanakan oleh guru pada saat sebelum proses pembelajaran dilaksanakan. Permasalahan yang terjadi pada saat proses pembelajaran di kelas VI D SD 3 Saraswati 3 Denpasar, yaitu; (1) pada proses pembelajaran hanya beberapa orang murid yang antusias bertanya, (2) belum semua murid dapat mengemukakan argumennya, (3) murid belum dapat memilih atau menentukan suatu tindakan sesuai dengan pembelajaran.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah penulisan ini, yaitu: Bagaimanakah visi inkuiri apresiatif BAGJA dalam penumbuhan merdeka belajar murid kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021?
Tujuan
Pada laporan tentang “Visi Inkuiri Apresiatif BAGJA Dalam Penumbuhan merdeka Belajar Murid Kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar Tahun Pelajaran 2020/2021” ini memiliki dua tujuan yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
1) Secara umum laporan ini bertujuan untuk meningkatkan tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan manusia seutuhnya, yang terampil dan cerdas berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2) Secara umum laporan ini bertujuan untuk mendukung tercapainya Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) dari rangkaian kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan dijalankan melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Secara khusus laporan ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran inkuiri apresiatif Bagja untuk penumbuhan murid yang merdeka.
2) Secara khusus laporan ini bertujuan untuk membuat rencana perubahan diri guna mendukung penguatan visi mengelola perubahan dan lingkungan yang positif.
3) Secara khusus laporan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang visi inkuiri apresiatif BAGJA dalam penumbuhan merdeka belajar murid kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021.
Manfaat Penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan memberikan kontribusi berarti, sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Secara Teoritis
Penerapan model inkuiri memberikan stimulus kepada siswa untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan proses pembelajaran, mencari dan menemukan sendiri topik dan permasalahan yang dibahas, mulai dari pemberian pertanyaan, memunculkan rasa percaya diri pada pesserta didik untuk mengemukakan pendapat, sehingga mampu mencerminkan murid yang mandiri dan kritis.
1.4.2 Manfaat Secara Praktis
1) Bagi murid, sebagai sarana untuk meningkatkan berpikir kritis, belajar mandiri dalam pembelajaran (sains), dan lain sebagainya, inkuiri apresiatif bagja adalah model pembelajaran yang dapat memberikan stimulus yang baik bagi murid.
2) Bagi guru, inkuiri apresiatif (IA) Bagja dapat digunakan sebagai referensi dalam merencanakan pembelajaran Tematik, khususnya pembelajaran IPA (sains), kemudian kreatifitas guru terpacu untuk menggunakan berbagai model pembelajaran, sehingga guru termotivasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.
3) Bagi sekolah, inkuiri apresiatif (IA) yang disebut BAGJA (Buat pertanyaan, Ambil pembelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, Atur eksekusi) merupakan perubahan positif yang sangat dibutuhkan sekolah, karena inkuiri apresiatif mengutamakan psikologi positif dan pendidikan positif, dimana setiap murid memiliki inti positif yang dapat memberikan konstribusi pada keberhasilan sebuah organisasi dalam melakukan perencanaan perubahan secara bertahap.
4) Bagi penulis, mendeskripsikan tentang visi inkuiri apresiatif BAGJA dalam penumbuhan merdeka belajar murid kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021, adalah hal yang sangat baru, sehingga diharapkan diperoleh informasi mengenai rencana-rencana untuk melakukan perubahan (di lingkungan sekolah).
*****
Landasan teori adalah konsep yang dapat menjawab masalah yang ditimbulkan dalam kegiatan penulisan tentang, visi inkuiri apresiatif BAGJA dalam penumbuhan merdeka belajar murid kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar tahun pelajaran 2020/2021, digunakan dasar-dasar teori yang erat hubungannya dengan permasalahan, yaitu: 1) Inkuiri Apresiatif “Bagja” (Appreciative Inquiry 5D), dan 2) Pengertian Merdeka Belajar
Istilah Appreciative Inquiry (AI) menjadi pembicaraan populer dewasa ini, karena sifatnya yang mendobrak paradigma lama, yaitu pemecahan masalah yang biasanya berbasis pada penyimpangan antara kondisi nyata dan kondisi sempurna menjadi lebih berbau positif, yaitu mendorong tindakan dengan berbasis pada tingkah laku yang positif (positif attitude).
Akronim dari ‘BAGJA’ (Buat pertanyaan, Ambil pembelajaran, Gali mimpi, Jabarkan rencana, Atur eksekusi), merupakan terjemahan bebas yang diadaptasi dari model 5D (define, discover, dream, design, deliver), suatu metode tentang tangga perubahan bertahap yang menyerupai gerak melingkar spiral, mulai dari tahap penetapan, pencarian/penemuan, membangun mimpi, rancangan dan implementasi/eksekusi.
Gambaran sederhana dari tahapan-tahapan Inkuiri Apresiatif Bagja tersebut dijabarkan sebagai berikut: (1) Buat pertanyaan (define) pada tahap ini melihat dan mendefinisikan suatu masalah dengan mencari solusi yang telah ada, (2) Ambil pembelajaran (discover), melihat dan mengidentifikasi suatu proses yang sudah dan sedang berjalan dengan baik, memperkuat yang bekerja, focus pada hal-hal positif yang menjadikannya hidup dan yang terbaik,
(3) Gali mimpi (dream) pada tahap ini melihat gambaran ke masa depan, dari proses tersebut dipilih mimpi/gambaran yang mungkin bekerja dengan baik di masa yang akan datang, karena keberhasilan masa lalu digunakan sebagai titik beranjak dalam menggambarkan suatu kondisi ideal yang dikehendaki terjadi di masa depan, (4) Jabarkan rencana (design) berarti merencanakan dan memprioritaskan proses-proses yang mungkin bekerja dengan baik untuk masa depan yang dirancang secara mengesankan,
(5) Atur eksekusi (deliver) implementasi dari rancangan (design) yang diajukan tersebut, diimplementasikan kedalam tindakan nyata yang merujuk pada kompetensi dan pengalaman yang pernah dilakukan. Pandangan logis menunjukkan, jika sesuatu beranjak dari ‘eksisting’ pengalaman yang dimiliki, dapat membangkitkan rasa percaya diri komunitas tersebut. Maka impian menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi (destiny).
Menurut Cooperrider (2001), inkuiri berarti untuk menyatakan sistem terbuka dalam melihat potensi dan kemungkinan baru, apresiatif berarti menyadari kehebatan orang-orang atau dunia di sekitar kita untuk menyatakan kekuatan, kesuksesan, dan potensial di masa lalu atau masa sekarang, adalah proses penguatan, yang mengalirkan kekayaan pengalaman dan keseluruhan kekuatan yang dimiliki.
Pendekatan ini tidak terfokus pada masalah yang sedang dihadapi akan tetapi pada kekuatan yang bisa dilihat dalam memecahkan masalah tersebut. Pendekatan ini melihat kapasitas masa lalu dan masa depan tentang; prestasi, asset, potensial yang belum tereksplor, inovasi, kekuatan, pikiran mendalam, kesempatan, momen-momen penting, nilai kehidupan, tradisi, kemampuan strategis, riwayat, ekspresi kebijaksanaan, dan visi dari suatu nilai dan masa depan yang mungkin terjadi.
Inti dari inkuiri apresiatif terletak pada ‘seni mengajukan pertanyaan’ yakni bagaimana melihat kemungkinan masa depan dengan dasar yang kuat yaitu pengalaman terbaik dan hubungan positif subjek (seseorang, organisasi, komunitas) terhadapnya. Dengan demikian, inkuiri apresiatif (appreciative inquiry) bekerja dengan asumsi bahwa lingkungan ini tercipta untuk mendukung sistem kehidupan dan selalu tersedia kapasitas yang sedang berjalan dengan baik.
Gagasan penting lain yang ditawarkan inkuiri apresiatif (appreciative inquiry) adalah lebih baik mengembangkan apa yang sudah berjalan dengan baik di dalam suatu komunitas/organisasi, ketimbang mencoba memperbaiki masalah. Ini berlawanan dengan cara lama yang cenderung mencari penyelesaian masalah (problem solving). Sebaliknya, inkuiri apresiatif justru memusatkan pada keberhasilan yang pernah terjadi dan yang sekarang berjalan dengan baik, kemudian memperkuatnya. Dan hasilnya, ternyata memberikan dampak yang melebihi dari penyelesaian masalah itu sendiri.
Dalam penelitian yang berjudul Visi Dan Inkuiri Apresiatif BAGJA Dalam Penumbuhan merdeka Belajar Murid Kelas VI D SD Saraswati 3 DenpasaTahun Pelajaran 2020/2021, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok murid yang belajar dengan strategi pembelajaran inkuiri dengan strategi pembelajaran langsung terhadap kemampuan berpikir kritis maupun pemahaman konsep.
Hasil pengujian hipotesis tersebut memberikan gambaran bahwa strategi pembelajaran inkuiri berdampak konstruktif, karena pada proses pembelajaran cenderung berpusat pada siswa yang menjadikan siswa sebagai subjek dan menekankan keaktifan siswa untuk belajar menemukan topik dan materi pembelajaran.
Pengertian Merdeka Belajar
Kata “merdeka” (independent) pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni: (1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; (3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Sedangkan kata “belajar” yang dirasakan sebagai kebutuhan yang vital, karena hampir semua kecakapan, keterampilan, dan kebiasaan manusia terbentuk dari proses belajar yang dimodifikasi bagi setiap orang.
Menurut Jihad, (2008: 01) menyatakan, “belajar adalah kegiatan berproses melalui jenjang pendidikan, keberhasilan tujuan pendidikan sangat tergantung pada keberhasilan proses belajar di sekolah. Merdeka belajar adalah suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.
Mengajar dengan nuansa yang nyaman akan lebih menyenangkan bagi guru maupun murid. Pembelajaran akan lebih nyaman, jika murid dapat berdiskusi lebih dengan gurunya serta dapat belajar di luar kelas, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru, tetapi lebih membentuk karakter murid yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking, yang menurut beberapa survey hanya meresahkan anak dan orang tua, karena setiap anak memiliki bakat dan kecerdasan yang berbeda.
Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan berkompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat. Kondisi yang menyenangkan, aman, dan nyaman akan mengaktifkan bagian otak berpikir dan mengoptimalkan proses belajar mengajar serta meningkatkan kepecayaan diri anak. Suasana kelas yang kaku, penuh beban, guru yang kurang menyenangkan akan menurunkan fungsi otak anak dan anak tidak berpikir efektif, reaktif atau agresif.
Deskripsi Aksi Nyata
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim adalah pencetus program merdeka belajar. Merdeka belajar bertujuan agar para guru, peserta didik, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia saat belajar. Merdeka belajar adalah proses pendidikan yang harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan. Setiap anak yang dilahirkan pasti memiliki keistimewaan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Di sinilah pendidik harus mampu menjadi teman belajar yang menyenangkan agar proses belajar anak benar-benar atas kesadaraannya sendiri dan merdeka atas pilihannya.
Diperlukan waktu yang cukup serta kesabaran dalam memfasilitasi, agar anak mampu untuk mengenali potensinya. Karena bakat anak bisa tumbuh ketika anak sudah memiliki minat dan mau berlatih untuk mengasah keterampilannya. Dalam mengawali proses belajar, pendidik juga perlu memiliki kemampuan mendengar yang baik.
Tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan mendikte anak-anak atas kehendak pendidik. Strategi pembelajaran yang memerdekakan, menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna dan proses pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk mendengarkan pertanyaan atau pandangan siswa. Aktivitas belajar lebih menekankan pada keterampilan berpikir kritis, analisis, membandingkan, generalisasi, memprediksi, dan menyusun hipotesis.
Program merdeka belajar dilahirkan dari banyaknya keluhan terhadap sistem pendidikan. Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu. “Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir harus diterapkan oleh guru terlebih dahulu. Jika guru tidak menerapkan, tidak mungkin bisa terjadi pada peserta didik.”
Saat kita percaya kemerdekaan guru dan kemerdekaan belajar, maka akan bersinggungan dengan banyak hal. Salah satunya kemerdekaan dalam proses belajar. Proses belajar butuh kemerdekaan, sudah tentu. Sebab, kemerdekaan harus melekat pada subyek yang melakukan proses belajar, guru ataupun peserta didik. Perspektif kemerdekaan itu sendiri, bukan sekedar kepatuhan atau perlawanan. Kemerdekaan adalah sesuatu yang diperjuangkan, bukan diberikan. Kemerdekaan adalah bagian penting dari pengembangan guru.
Sama seperti burung yang tidak berani keluar dari kandang, kompetensi guru tidak akan bisa optimal jika tidak diberikan kemerdekaan atau kebebasan berpikir. Sebab, hanya guru yang merdeka yang bisa membebaskan anak, hanya guru yang antusias yang menularkan rasa ingin tahu pada anak dan hanya guru belajar secara terus menerus yang pantas mengajar. Apa yang dipercayai guru adalah bagian penting dari apakah dia mampu mencapai kemerdekaan dan memerdekakan belajar.
Dalam situasi seperti ini, guru yang memiliki kemerdekaan juga seringkali disalahartikan sebagai perlawanan terhadap aturan atau kebijakan. Ini pendefinisian yang kurang tepat, karena kemerdekaan sesungguhnya selalu berkaitan dengan inisiatif diri. Guru perlu merdeka untuk mencapai cita-cita, bukan sekadar ”merdeka” dari kebijakan.
Pelaksanaan evaluasi dalam pembelajaran yang memerdekakan menekankan pada proses penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. Evaluasi menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan masalah secara ganda atau tidak menuntut satu jawaban benar karena pada kenyataannya tidak ada jawaban siswa yang salah, yang ada adalah pertanyaan pendidik yang salah.
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata, artinya evaluasi lebih menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
Hasil Aksi Nyata
Peningkatan mutu sumber daya manusia menghadirkan masyarakat yang kaya akan kreativitas dalam pengaktualisasian ilmunya sendiri dan memaksa supaya tidak berpikir monoton merupakan tujuan yang paling utama dalam perubahan kebijakan pendidikan saat ini.
Fokus pada peningkatan tiga indikator yaitu numerasi, merupakan peningkatan kemampuan penguasaan tentang angka-angka, literasi yaitu kemampuan menganalisa bacaan, dan memahami di balik tulisan tersebut dan pembinaan karakter yaitu melakukan pembelajaran gotong royong ke-bhinnekaan dan sebagainnya.
Dalam pembelajaran berbasis budaya, budaya menjadi sebuah metode bagi siswa untuk mentransformasikan hasil observasi mereka kedalam bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip yang kreatif tentang alam. Dengan demikian, melalui pembelajaran berbasis budaya, siswa bukan sekadar meniru atau menerima saja informasi yang disampaikan, tetapi siswa dimerdekakan untuk menciptakan makna, pemahaman,dan arti dari informasi yang diperolehnya
Pengetahuan, bukan sekedar rangkuman naratif dari pengetahuan yang dimiliki orang lain, tetapi suatu koleksi yang dimiliki seseorang tentang pemikiran, perilaku, keterkaitan, prediksi dan perasaan, hasil transformasi dari beragam informasi yang diterimanya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan salah satu cara yang dipersepsikan dapat;
(1) menjadikan pembelajaran bermakna dan kontekstual yang sangat terkait dengan komunitas budaya, di mana suatu bidang ilmu dipelajari dan akan diterapkan nantinya, dan dengan komunitas budaya dari mana kita berasal.
(2) menjadikan pembelajaran menarik dan menyenangkan. Kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya penciptaan makna secara kontekstual berdasarkan pada pengalaman awal sebagai seorang anggota suatu masyarakat budaya. Hal ini sejalan dengan pemikiran aliran konstruktivisme yaitu aliran pementasan drama yang menolak pemakaian latar lukisan dan bentuk dekorasi realistis agar diganti dengan konstruksi lain, seperti tangga dan sebagainya.
Jadi, belajar bukan hanya menerima apa yang ditransfer guru, tetapi peserta didik bebas menerima dan mengembangkan ilmu yang ditransfer guru sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan merupakan alat untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, pendidikan yang berkualitas akan mencerminkan masyarakat yang maju, damai dan mengarah kepada sifat-sifat yang konstruktif. Pendidikan juga menjadi roda penggerak kehidupan bangsa.
Keberhasilan Dan Kegagalan Dalam Proses Pelaksanaan Pembelajaran
Inkuiri, merupakan salah satu model yang dapat memberikan stimulus yang baik bagi siswa yaitu: berpikir kritis, belajar secara mandiri, dan lain sebagainya, merupakan salah satu model pendekatan yang berpusat pada siswa dan sesuai untuk diaplikasikan di Sekolah Dasar, terutama sekolah yang menggunakan kurikulum 2013.
Beberapa keunggulan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu: (1) merangsang untuk belajar aktif, (2) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan mencari dan menemukan sendiri topik dan materi pembelajaran sendiri, (3) meningkatkan penguasaan konsep, dan (4) menekankan komunikasi siswa. Keunggulan tersebut merupakan alasan penggunaan model pembelajaran inkuiri, agar kemampuan berpikir murid meningkat,
Kekurangan pembelajaran berbasis inkuri, yaitu “(1) pembelajaran sedikit sulit dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasan siswa dalam belajar, (2) memerlukan waktu yang panjang dan itu menjadikan guru kesulitan untuk menyesuaikan waktu yang sudah ditentukan, (3) Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran, maka penggunaan model inkuiri akan sulit diterapkan oleh setiap guru” (Sanjaya, 2010: 208).
Rencana Perbaikan Di Masa Mendatang
Ada murid yang memiliki pengharapan tinggi, dapat mengoseptualisasikan tujuan dengan jelas, menentukan tujuan berdasarkan kinerja sebelumnya, memasang target belajar dan standar kinerja yang sedikit lebih tinggi dari yang dapat dicapai, dapat menyelaraskan diri dengan tujuan mereka sendiri dan mengendalikan bagaimana mencapainya, kemudian termotivasi secara intrinsik dan berkinerja baik secara akademis dikatagorikan murid merdeka belajar, sebaliknya murid yang memiliki pengharapan rendah, ragu-ragu, tidak jelas dengan tujuan diibaratkan murid yang berlayar tanpa menggunakan peta, hal tersebut sangat membahayakan karena itu murid dengan motivasi rendah, memerlukan tuntunan yang lebih dari guru, orangtua, dan masyarakat.
Dari uraian tersebut di atas, perubahan-perubahan yang sangat diperlukan di kelas VI D SD Saraswati 3 Denpasar, demi terwujudnya “visi murid merdeka” dengan lebih efektif, yaitu:
(1) Penumbuhan karakter yang baik dan semakin baik, jadi murid bukan hanya pintar dalam pengetahuan saja, tetapi murid dapat diterima secara utuh dimasyarakat,
(2) Mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang mengutamakan terjadinya peningkatan komunikasi 2 arah (dialog) bukan monolog yang kaku, dengan model yang beragam contohnya: Tanya-jawab, diskusi perorangan/kelompok, kuis, percobaan (riset) di laboratorium, perpustakaan dan lain sebagainya
(3) Memperkuat dasar-dasar pengetahuan, bakat, kesukaan, sehingga murid dapat menentukan pilihan pada satu bidang yang ingin digelutinya di masa datang sebagai sebuah profesi (ahli dibidangnya),
(4) Selalu mengaitkan hal-hal yang telah dipelajari dengan dunia nyata (masyarakat), baik dari tujuan, manfaat, penerapan, sehingga murid mengetahui dengan pasti potensi dirinya dengan jiwa dan akhlak yang mulia,
(5) Pembelajaran di luar kelas, yaitu guru mendesain pembelajaran di luar kelas, dengan merancang daerah atau lokasi yang akan digunakan untuk belajar (botanical garden, lahan persawahan, lahan pertanian, perindustrian, pertamina, pantai, pegunungan, lapangan, dan lain sebagainya) yang sudah dipikirkan juga bagaimana menuju daerah/lokasi tersebut, apakah menggunakan transportasi sekolah (bus/minibus), atau lokasi dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau mengendari sepeda gayung yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Guna mendukung perubahan-perubahan tersebut di atas, hal yang paling dibutuhkan murid adalah transportasi sekolah yang memadai, laboratorium, ruang perpustakaan yang lengkap dan nyaman untuk menumbuhkan minat membaca, internet dengan kapasitas jaringan yang baik.
Dokumentasi proses Aksi Nyata
****
Simpulan
Pendekatan Inkuiri, merupakan salah satu model yang dapat memberikan stimulus yang baik bagi siswa yaitu: berpikir kritis, belajar secara mandiri dengan penggambaran strategi pembelajaran inkuiri berdampak konstruktif, karena pada proses pembelajaran cenderung berpusat pada siswa yang menjadikan siswa sebagai subjek dan menekankan keaktifan siswa untuk belajar menemukan topik dan materi pembelajaran.
Merdeka belajar adalah proses pendidikan dengan menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan, sekolah tak lagi menakutkan dengan berbagai aturan yang mengikatnya, murid bisa merasa nyaman dan aman di sekolahnya, maka murid menjadi manusia yang merdeka dengan tetap memelihara ketertiban dan dan kedamaian di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya Dharma. 2020. Modul 1.3: Visi Guru Penggerak. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK).
Ali, Mohammad Prof., Dr., dan Asrori, Mohammad Prof., Dr. 2006. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara
Danim, Sudarwan. 2007. Metode Penelitian untuk Ilmu-Ilmu Perilaku. Jakarta: Penerbit PT. Bumi Aksara.
Dimyati., Dr. dan Mudjiono., Drs. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Ducha, Marrisa Nurul. 2016. Konsep Pendidikan Ki hadjar Dewantara Sebagai Penguatan Manajemen Mutu Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Hasibuan., Ibrahim dan Toenlioe, A.J.E. 1991. Proses Belajar Mengajar Keterampilan Dasar Mengajar Mikro. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jihad, Asep dan Haris, Abdul. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Multi Pressindo.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Muslich, Masnur. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Nasution, M.A., Prof., Dr. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Rooijakkers, Ad. 1991. Mengajar dengan Sukses “Petunjuk untuk Merencanakandan Menyampaikan Pengajaran”. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana, Indonesia.
Sardiman A.M. 2009. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. PT RajaGrafindo Persada.
Samho Bartolomeus., SS., M.Pd dan Yasunari Oscar., SS., MM. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Tantangan-Tantangan Implementasinya Di Indonesia Dewasa Ini. Bandung: Lembaga penelitian Dan Pengabdian Kepada masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Suryosubroto, B., Drs. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT Rineka Cipta.